Duh! Toxic Positivity Bisa Bikin Damage Mental Kamu. Berikut Ciri-Cirinya
Toxic Positivity, kamu mungkin sudah mendengar kata itu. Situasi di mana kamu atau teman kamu harus tetap memiliki pikiran positif dalam sebuah situasi yang sulit, ajakan agar kamu tetap ceria menghadapi masalah itu, memaksa kamu menolak semua emosi alamiah. Itulah toxic positivity.
Menurut Kenda Cherry, MSEd, seorang psikolog, memiliki cara pandang positif dalam kehidupan kamu berdampak pada mental. Masalahnya, kata Kenda, hidup itu tidak selalu positif, pasti ada aja masalahnya.
“Kita punya emosi, rasa sakit, duka dan pengalaman tidak menyenangkan. Nah, emosi itu, meski tidak menyenangkan harus dirasakan dan dihadapi dengan kejujuran dan ketulusan. Sikap ini justru membuat kamu menerima masalah dan berpengaruh pada kesehatan psikologis,” papar Kendra.
Toxic positivity membawa pikiran-pikiran positif ke cara berpikir yang lebih umum. Dampaknya, attitude ini bukan hanya mengaburkan pentingnya optimisme tapi juga meminimalkan bahkan menolak emosi kita yang memang tidak sepenuhnya bahagia atau positif.
Toxic positivity artinya, kamu hanya memiliki ‘good vibes only’ dalam hidup dan membuang segala emosi yang dirasa negatif. Sikap ini bisa menjadi back fire buat kamu. Orang lain akan menyangka kamu stay positive, padahal memerlukan dukungan tulus untuk mengatasi apa yang kamu hadapi.
Contoh Toxic Positivity
Bentuknya bisa bermacam-macam. Kamu mungkin sudah mengalaminya.
- Saat hal buruk terjadi, misalnya kamu kena pemutusan hubungan kerja, teman-teman kamu ada yang bilang ‘Sabar. Pasti ada hikmahnya’. Kalimat ini bisa membuat kamu tidak leluasa melampiaskan ekspresi dan ini berbahaya.
- Atau setelah kamu mengalami kehilangan atau berduka, teman kamu bilang ‘semua yang terjadi ada alasannya’, Niatnya baik, tapi tanpa disadari, kalimat itu malah menjegal rasa duka kamu..
Kalimat Toxic Positivity
- “Tetap positif, dong !”
- “Ayo, good vibes aja ya,”
- “Bisa aja lebih parah sih,”
- “Ya, semua yang terjadi pasti ada hikmahnya,”
- “Gagal itu bukan pilihan!,”
- “Bahagia itu pilihan,”
Kalimat Alternatif Non-Toxic
- “Ngomong aja. Gue dengerin ya,”
- “Gue ada di sini buat lo,”
- “Haduh..itu pasti susah banget ya,”
- “Emang sih kadang hal jelek bisa terjadi. Gimana gue bisa bantu lo?,”
- “Kegagalan kadang-kadang emang jadi bagian dari hidup. Ya gak sih?,”
- “Perasaan lo bener banget, Sob!,”
Kenda menerangkan kenapa toxic positivity bisa menyakitkan. Katanya, terlalu banyak positivity malah bisa menjadi racun karena membuat orang lain terjerumus. Orang itu tidak menunjukkan emosi manusia yang tulus dan mendapatkan dukungan. Mendapatkan toxic positivity bisa membuat orang lain merasa malu, merasa bersalah, dan memendam emosi , dan membuat emosi alamiah tidak bertumbuh.
Dalam beberapa kasus, toxic positivity bahkan bisa menjadi abusif . Efek ini diberikan secara tidak sadar oleh orang lain. Membuat orang yang memiliki masalah menjadi kurang percaya diri, meminimalkan emosi dan pengalaman.
Ciri-Ciri Toxic Positivty
Cirinya seringkali tidak begitu kentara. Berikut tanda-tanda awal kamu terpapar toxic positivity
- Mengabaikan masalah daripada menghadapinya
- Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya
- Mengacuhkan perasaan orang lain karena membuat kamu tidak nyaman
- Mempermalukan orang lain jika mereka tidak memunya sikap positif.
Jika kamu mengalami tanda-tanda berikut ini, bisa saja anda menerima dampak toxic positivity
- Kamu merasa bersalah karena sedih, marah, atau kecewa
- Menyembunyikan perasaan kamu yang sebenarnya
- Berusaha ‘tabah’ atau melupakan emosi dan perasaan yang menyakitkan
Lalu bagaimana menghindarinya? Kenda menyebut ada beberapa sikap yang membuat kamu terlepas dari jebakan toxic positivity.
- Bersikap ‘it’s okay to not be okay.’ Ini berlaku kepada siapa saja. Teman kamu yang memiliki pengalaman buruk itu bisa diterima, begitu juga dengan kamu.
- Atur emosi negatif, tapi jangan menyangkalnya. Jujurly, emosi negatif bisa menyebabkan stress tapi juga bisa memacu hidup.
- Belajar Mendengarkan orang lain dan tunjukkan dukunan. Jika teman kamu menunjukkan perasaan dan emosi, jangan buat teman kamu berhenti menunjukkannya, tapi katakan apa yang dialaminya adalah hal yang normal dan yakinkan kamu ada untuk mendengarkannya.
Pada akhirnya, kamu harus melepaskan apa yang kamu rasakan. Perasaan dan emosi yang sejujur-jujurnya. Yuk, saatnya menjadi agen perubahan untuk meningkatkan kesehatan mental kamu dan orang-orang di sekitar kamu.