Begini Uniknya Pemilu di Yunani Kuno
Pemilu Pilpres dan Pileg 2024 di Indonesia baru saja digelar dan sekarang sedang dalam tahapan penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jakarta. Buat kamu yang baru saja menggunakan hak pilihnya, tentu ini merupakan pengalaman berkesan.
Indonesia sejak merdeka pada 1945, Pemilihan Umum (Pemilu) telah dilaksanakan sejak tahun 1955 hingga 2019 dan baru saja di tahun 2024. Sejarah Pemilu di Indonesia tidak terlepas dari keinginan rakyat untuk menentukan siapa saja orang-orang yang akan duduk di pemerintahan.
Pemilu di Indonesia ini memiliki tata cara sendiri, biasanya dengan mencoblos lambang partai atau foto wajah pasangan capres dan cawapres atau foto calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilu di negara kita menganut azas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
Lalu, bagaiman mekanisme pemilihan di era Yunani kuno? Redakasi MI telah merangkumnya untuk kamu. Dilansir dari situs history.com, bangsa Yunani kuno memiliki cara unik dalam memilih seorang penguasa, berikut informasi menariknya yang perlu kamu ketahui ;
Pemilihan Khusus untuk Pengucilan dan Pengasingan
Di Athena, jika seorang tokoh masyarakat dipermalukan atau menjadi terlalu populer demi kebaikan demokrasi, ia bisa diasingkan selama 10 tahun melalui pemilihan “pengucilan” khusus, sebuah kata yang berasal dari ostraka, kata Yunani kuno untuk pecahan tembikar.
Dalam pemilihan siapa yang layak dikucilkan, setiap anggota Majelis akan diberi sepotong kecil tembikar dan diminta untuk menggoreskan nama seseorang yang pantas untuk diasingkan.Jika setidaknya 6.000 orang menuliskan nama yang sama, orang dengan suara terbanyak akan diusir dari Athena selama 10 tahun.
Cara ini pernah diterapkan pada Themistokles, pahlawan militer Athena dari Pertempuran Salamis melawan Persia, yang dikucilkan pada tahun 472 SM dan meninggal di pengasingan. Sejarah mencatat, ada bukti bahwa musuh-musuh politik Themistokles mengukir namanya di ratusan atau ribuan pecahan tembikar dan membagikannya kepada para anggota Majelis yang buta huruf.
Di Sparta, Riuhnya Tepuk Tangan dan Teriakan Menjadi Penting
Beberapa kota di Yunani kuno, punya cara unik dalam pemungutan suara dan pemilihannya sendiri-sendiri, menurut Robinson, penulis buku ‘Democracy Beyond Athens’.
Salah satu contohnya adalah Sparta, yang bukan negara demokrasi namun memiliki beberapa elemen demokrasi yang dipraktikkan. Salah satu badan penguasa tertinggi di Sparta adalah Dewan Tetua(gerousia), yang terdiri dari dua raja Sparta dan 28 pejabat terpilih, semuanya berusia di atas 60 tahun, yang akan menjabat seumur hidup. Ya, seperti kerajaan.
Untuk mengisi kursi jabatan yang kosong, orang Sparta mengadakan pemilihan dengan cara yang unik, yaitu dengan berteriak atau yang dikenal dengan pemilihan secara aklamasi, Setiap kandidat akan bergiliran berjalan ke ruang pertemuan besar, dan orang-orang akan berteriak dan bersorak untuk mendukungnya. Di ruangan yang tersembunyi dari pandangan, para juri akan membandingkan volume teriakan untuk memilih pemenangnya. Zaman now, cara ini malah dipakai MC dalam gimmick-gimmick game ya kan.
Memberikan ‘Hak Prerogatif’ kepada Orang Kaya
Republik Romawi meneruskan beberapa prinsip demokrasi Athena, tetapi membagi pemilih berdasarkan kelas dan menciptakan sistem yang menguntungkan orang kaya. Alih-alih memberikan suara dalam satu majelis raksasa seperti Athena, Romawi memiliki tiga majelis. Majelis pertama disebut Majelis Centuriat, badan ini memilih jabatan-jabatan tertinggi di Roma, termasuk Konsul, Praetor, dan Sensor, dan merupakan majelis yang bertanggung jawab untuk mendeklarasikan perang.
Pemungutan suara di Majelis Centuriate dimulai dari kelas terkaya dan penghitungan suara berhenti begitu mayoritas dari 193 anggota badan tersebut tercapai. Jadi, jika semua orang kaya ingin agar sebuah rancangan undang-undang disahkan, atau seorang Konsul tertentu dipilih, mereka dapat memberikan suara sebagai satu blok dan mengesampingkan kelas-kelas yang lebih rendah. Dalam bahasa Latin, hak istimewa untuk memberikan suara pertama disebut praerogativa (diterjemahkan sebagai “meminta pendapat sebelum yang lain”) dan merupakan akar dari kata prerogatif dalam bahasa Inggris.
Dalam dua majelis Romawi lainnya, Majelis Kesukuan dan Dewan Plebeian, urutan pemungutan suara ditentukan dengan membuang undi. “Suku” di Athena dan Roma tidak didasarkan pada darah atau etnis, tetapi pada wilayah geografis tempat tinggal. Dengan cara itu, Tribal Assembly berfungsi dengan cara yang mirip dengan Senat Amerika Serikat, di mana setiap negara bagian memiliki perwakilan yang sama.
Pemungutan Suara Rahasia dan Kampanye di Republik Romawi
Beberapa aspek pemilihan umum di Republik Romawi kuno masih ada sampai sekarang. Pemungutan suara di majelis dimulai seperti cara di Athena, setiap anggota majelis mengangkat tangan dan memberikan suara di depan umum. Namun seiring berjalannya waktu, diketahui bahwa para “sponsor” yang kaya raya sering menekan para anggota majelis Romawi untuk memberikan suara dengan cara tertentu, sehingga pemungutan suara harus dilakukan secara rahasia.
Pada tahun 139 SM, Roma memperkenalkan jenis pemungutan suara rahasia yang baru. Dengan menggunakan tablet kayu dengan selembar lilin di bagian luarnya. Pemilih akan menulis nama orang yang dipilihnya dan memasukkan seluruh tablet ke dalam kotak suara. Kaum bangsawan sangat marah dengan hal ini, karena mereka kehilangan sebagian kendali mereka.
Uniknya, iklan kampanye masa itu hanya hanya coret-coretan dinding dan arkeolog telah menemukan ratusan contoh iklan kampanye kuno dan grafiti politik di wilayah Pompeii. Sementara, bentuk kampanye resmi, para pencari jabatan di Romawi hanya berlangsung satu atau dua minggu dan biasanya dilakukan langsung di alun-alun.